Pariwisata Budaya Jepang ( Matsuri, Bunraku, Obon, Ikebana, Otera dan Jinja)


Kebudayaan Jepang, seperti yang kita ketahui ada beraneka ragam dengan beragam adat dan tradisi yang dilakukan oleh masyarakatnya. Setiap adat dan tradisi tersebut tentunya memiliki beragam makna yang tidak lepas dari pesan moral yang ingin disampaikan maupun upaya untuk menghormati dewa atau roh leluhur mereka.
Sebenarnya secara tidak langsung bentuk budaya Negara Jepang hampir sama dengan budaya kita yakni budaya di Indonesia, karena keduanya memiliki persamaan dalam hal pesan moral maupun dalam hal menghormati roh leluhur. Sehingga karena persamaan itulah yang membuat kita tidak mengalami kesulitan dalam hal menelaah dan mengkaji kebudayaan Negara Jepang.
Budaya Jepang mencakup interaksi budaya asli Jomon dengan pengaruh dari budaya Negara-negara lain seperti Cina, Korea, Amerika, dll. Pengaruh kebudayaan tersebut masuk pada zaman Meiji, dimana kaisar pada saat itu memberikan peluang bagi warga negara lain maupun masyarakat Jepang yang studi ke luar negeri untuk mengenalkan budaya negara lain ke Negara Jepang sehingga sempat juga terjadi pergeseran tren di masyarakat dalam hal pakaian dan selera makanan. Beda halnya, ketika zaman Edo dimana pada zaman itu kaisar sangat menutup keterbukaan Jepang terhadap budaya negara lain. Sehingga terkesan ortodoks dan statis.
Budaya Jepang di masa saat ini dapat dikategorikan menjadi 2 macam yakni budaya tradisional dan budaya modern. Budaya tradisional meliputi budaya yang murni tanpa adanya percampuran atau pengaruh dari negara lain. Sedangkan budaya modern adalah adanya percampuran antara budaya asli dengan budaya negara lain.
Budaya tradisional Negara Jepang beraneka ragam, seperti matsuri atau jika dalam bahasa negara dikenal sebagai festival, chanoyu (upacara minum teh), sumo (olahraga gulat), serta hal-hal lain yang menyangkut tradisi, makanan, dan kerajinan tangan, sedangkan budaya modern Jepang seperti Anime, J-Pop, dll.
Kali ini pembahasan akan difokuskan tentang budaya tradisional atau budaya klasik Jepang dengan memusatkan pokok bahasan mengenai Kyoto sebagai jantung hati kebudayaan Jepang yang melingkupi tentang Matsuri, Otera, Jinja. Namun kami juga akan memberikan wacana tentang budaya Jepang tidak hanya yang ada di Kyoto saja, seperti Bon Odori, Bunraku,  dan Ikebana.
Kyoto yang dikenal sebagai jantung hati kebudayaan Negara Jepang telah menjadi pusat kebudayaan di Negara Jepang sejak zaman Edo. Dulu Kyoto sempat menjadi ibukota Negara Jepang pada era pemerintahan kaisar ke-50 yaitu kaisar Kammu yang memindahkan ibu kota dari Nagaoka-kyō ke Heian-kyō, akibat Fujiwara Tanetsugu yang menjadi penanggung jawab pembangunan Nagaoka-kyō tewas dibunuh. Ada penjelasan yang mengatakan ibu kota harus dipindahkan ke Kyoto untuk mengatasi pengaruh agama Buddha di Nara yang kekuatannya terpusat di sejumlah kuil-kuil yang disebut Nanto-jiin(南都寺院). Penjelasan lain mengatakan ibu kota perlu dipindahkan dari ibu kota kekaisaran milik garis keturunan Kaisar Temmu ke ibu kota baru untuk kaisar dari garis keturunan Kaisar Tenji. Jika boleh kita samakan dengan Indonesia, bisa jadi Kyoto bagaikan sister city Jogjakarta, selain Jogja juga dikenal sebagai kota budaya di Indonesia, Jogja juga sempat menjadi ibukota sementara Indonesia.
Di Kyoto pemandangan yang akan sering kita jumpai adalah banyaknya otera (kuil Budha) dan jinja (kuil Shinto) ada di setiap penjuru kota, salah satunya yang terkenal adalah Kinkaku-ji dan Kiyomizu-dera. Peranan jinja dan otera tentu berpengaruh dengan pergerakan kehidupan masyarakat di Kyoto salah satunya adalah banyaknya matsuri yang diadakan berkaitan dengan jinja dan otera tersebut yang juga berkaitan dengan hal-hal spiritual. Matsuri yang terkenal salah satunya adalah Gion Matsuri dan Jidai Matsuri.
A.      Gion Matsuri
Gion Matsuri di Kyoto diadakan pada tanggal 1-29 Juli atau biasanya digenapkan menjadi satu bulan penuh dalam bulan Juli. Asal mula diadakannya Gion Matsuri yang telah diadakan sejak 1.100 tahun yag lalu ini adalah untuk menenangkan arwah yang meninggal karena penyakit menular serta untuk menghormati Dewa Gozutenno (penjaga penyakit menular). Konon ceritanya pada tahun 869 terjadi wabah penyakit yang menular yaitu cacar dan kampak, sehingga diadakan upacara Goryo-e. Pendeta Shintō bernama Urabe Hiramaro membuat 66 pedang dengan mata di dua sisi (hoko) untuk persembahan kepada penjaga dari penyakit menular yang disebut dewa Gozutennō. Jumlah Hoko yang dibuat sesuai dengan jumlah negara-negara kecil (kuni) yang terdapat di Jepang pada saat itu. Upacara ini kemudian dikenal sebagai Gion Goryō-e, yang kemudian penyebutannya disingkat menjadi Gion-e.
Dalam satu bulan di bulan Juli tersebut terdapat 3 hari yang ditandai sebagai masa puncak perayaan Gion Matsuri yakni :
  1. 15 Juli > Yoiyoiyama  ( malam sebelum Yoiyama )
  2. 16 Juli > Yoiyama ( malam sebelum prosesi )
  3. 17 Juli > Yamaboko- junko ( malam prosesi )
Yamaboko adalah singkatan dari Yama dan Hoko. Yama adalah kendaraan beroda besar dengan hiasan yang megah dan menampilkan barang keagamaan dan seni, serta ditarik oleh banyak orang. Sedangkan, Hoko adalah Yama yang menjulang tinggi dengan menara diatasnya, namun ada juga Hoko yang tidak memiliki menara. Di ujung menara tersebut terdapat katana bermata dua sisi.
Prosesi Yamaboko dilakukan ketika pagi hari di sepanjang jalan Karasuma-dori Shijo yaitu jalanan utama di Kyoto. Jumlah Yama dan Hoko berkisar 32 buah. Kirab dipercaya untuk mengumpulkan penyakit menular, setelah prosesi selesai maka Yama dan Hoko kembali ke tempat asal untuk segera dibongkar agar penyakit menular yang terkumpul tadi tidak kembali menjangkit masyarakat.
B.  Jidai Matsuri
Jidai Matsuri dirayakan pada tanggal 22-23 Oktober. Asal mula diadakan Jidai Matsuri sebagai hari peringatan dibentuknya organisasi pelestarian kuil Heian Jingu, alasan lainnya adalah perayaan yang dilakukan akibat Restorasi Meiji (1867) agar status sebagai bekas ibukota tidak terhapus dalam sejarah.
Pada awalnya dilakukan pada tanggal 25 Oktober, dikarenakan peringatan berdirinya organisasi tersebut pada tanggal 25 Oktober 1895.  Namun hari perayaan tersebut diubah menjadi tanggal 22 Oktober bertepatan dengan peristiwa Kaisar Kammu memindahkan ibukota Jepang dari Nagaoka-Kyo ke Kyoto.
Persiapan festival sudah dimulai sejak tangal 15 Oktober untuk melakukan pembagian peran tokoh sejarah yang dibawakan oleh para peserta ketika prosesi. Dan puncaknya adalah tanggal 22 dan 23 Oktober tersebut.
Prosesi dimulai dari Istana Kekaisaran Kyoto (Kyōto Gosho) menuju kuil Heian Jingū melalui jalan-jalan utama di kota Kyoto. Prosesi diikuti kelompok peserta yang mengenakan pakaian seperti yang dikenakan orang zaman dulu di Jepang. Busana yang diperagakan adalah gaya busana orang Jepang di zaman Restorasi Meiji hingga zaman Heian. Sejak tahun 2007, prosesi juga menampilkan kelompok peserta yang mengenakan busana orang Jepang pada zaman Muromachi.
C.  Aoi Matsuri
Aoi Matsuri dilaksanakan setahun sekali pada bulan Mei, dan puncak perayaannya pada tanggal 15 Mei. Asal-usulnya adalah ketika zaman Kaisar Kimmei ( 540 – 571 M ) terjadi musibah yaitu kegagalan panen, wabah penyakit dan kelaparan. Lalu Kaisar Kimmei mengirimkan utusan untuk pergi ke kuil Kamo memberikan persembahan, sehingga musibah tersebut dapat berakhir. Oleh karena iu sebagai ucapan rasa syukur diwujudkan dalam bentuk matsuri yang berkaitan dengan kuil Kamo dan pada awalnya Aoi Matsuri dinamakan dengan Kamo Matsuri. Alasan dinamakannya Aoi Matsuri dikarenakan pada festival ini terdapat tanaman daun tanaman Asarum caulescens (bahasa Jepang: Futaba Aoi) sebagai hiasan dalam matsuri.
Pada zaman Kamakuran dan zaman Muromachi, Aoi Matsuri sempat tidak dilaksanakan dikarenakan perang berkepanjangan. Lalu di zaman Genroku sempat dilangsungkan kembali, namun tidak dilaksanakan lagi sejak pemindahan ibukota ke Tokyo pada tahun 1869. Pada saat pemindahan ibukota ke Kyoto pada tahun 1884, Aoi Matsuri dilaksanakan kembali untuk menghidupkan kota Kyoto. Kemudian pada Perang Dunia II, prosesi sempat tidak dilangsungkan, dan pada akhirnya tahun 1953, Aoi Matsuri dilaksanakan sampai sekarang.
Prosesi Upacara dibagi menjadi beberapa tahap, antara lain :
  1. Yabusame Shinji :  Upacara di kuil Shimogamo untuk mendoakan keselamatan selama festival berlangsung.
  2. Saio-dai Misogi Shinji :  Para pemeran dalam prosesi disucikan di dua tempat bergantian yaitu kuil Kamigamo dan kuil Shimogamo
  3. Busha Shinji : Upacara untuk menghindari gangguan roh jahat
  4. Kamo Kurabe Uma : Upacara pemacuan kuda di kuil Kamigamo dalam rangka pengecekan kesehatan Kuda sebelum puncak prosesi
  5. Mikage Matsuri : Upacara untuk menyambut kedatangan roh suci. Tarian dan musik tradisional dilakukan di hutan dekat kuil Shimogamo yang bernama Tadasu no Mori
  6. Miare Shinji : Upacara yang bersifat tertutup yang dilakukan pada malam hari di kuil Kamigamo
Puncak upacara yang dilakukan pada tanggal 15 Mei dilaksanakan dimulai dari Istana Kyoto menuju kuil Kamigamo melewati kuil Shimogamo, peserta mengenakan pakaian ala bangsawan Jepang pada zaman Heian dengan membawa persembahan dan pesan dari kaisar, prosesi ini dinamakan dengan Roto no Gi.  Dan prosesi Shoto no Gi adalah prosesi dan pembacaan pesan yang dilakukan di kuil Shimogamo dan kuil Kamigamo.
D.  Kuil Budha ( Otera ) dan Kuil Shinto ( Jinja )
Kuil Budha ( Otera ) yang akan kami bahas disini adalah Kiyomizu-dera. Salah satu kuil yang terkenal dan termasuk salah satu dari 17 kuil dalam “World Heritage Historic Monument of Ancient Kyoto” yang ditetapkan oleh UNESCO pada bulan Desember 1994. 
Kiyomizu-dera ini terletak di 1-chome, Kiyomizu, Higashiyama-ku, Kyoto. Didirikan pada tahun 798 dan telah mengalami sepuluh kali kerusakan dikarenakan terjadinya bencana alam maupun peperangan.
Di Kiyomizu-dera ini terdapat mitos mengenai “Batu Buta” dan “Batu Peramal Cinta” yang terdapat di depan kuil Jishu-jinja yang ada di belakang kuil utama. Mitosnya mengenai “Batu Buta” tersebut adalah jika kita ingin mengajukan permohonan agar dikabulkan, maka kita cukup berjalan jarak 100 meter dari batu dengan cara menutup atau memejamkan mata kita. Jika kita berhasil tiba di depan batu tersebut dengan tepat maka keinginan yang kita mohon akan dikabulkan oleh Dewa.
Sedangkan mitos mengenai “Batu Peramal Cinta” adalah tidak jauh beda caranya dengan mitos “Batu Buta”. Bedanya hanyalah terletak pada tujuannya. Tujuannya adalah untuk menguji kesetiaan hati kita pada pasangan. Jika hasil akhirnya kita melenceng dari letak batu tersebut, berarti hati kita masih belum sepenuhnya untuk pasangan kita.
Kuil Shinto ( Jinja ) yang akan kami bahas disini adalah Kinkaku-ji atau juga disebut dengan Rokuon- ji dan lebih dikenal dengan kuil emas karena terbuat dari emas. Kuil ini terletak di Kinkaku-cho, Kita- ku, Kyoto.
Kuil ini dibangun pada 1398 oleh Ashikaga Yoshimitsu dengan founding priest Muso Soseki, dan telah mengalami pemugaran selama dua kali yaitu pada  tahun 1956 dan 1987.
E.   Bunraku
Bunraku merupakan pertunjukkan boneka tradisional ala Jepang yang termasuk dalam ningyo joruri (boneka joruri) atau sandiwara boneka yang diiringi dengan pengiring musik  joruri.  Joruri sendiri artinya adalah naskah dalam bentuk nyanyian, penyanyi joruri dinamakan tayu. Alat musik yang digunakan adalah shamisen.
Ningyo joruri sudah diperkenalkan sejak zaman Edo. Lalu Uemura Bunrakuken I mengadakan pementasan ningyo joruri di Osaka, kemudian diberi nama “bunraku” dan diresmikan pada zaman Meiji.
Dalam bunraku terdapat tiga dalang yang berperan dalam satu boneka dan dinamakan dengan ningyo tsukai. Tiga dalang tersebut berbagi tugas dalam menggerakkan boneka. Bedanya dengan pertunjukkan boneka di Indonesia, dalang-dalang ini tidak menyembunyikan dirinya di hadapan penonton ketika menggerakkan boneka-boneka tersebut.
Cerita yang dikisahkan dalam bunraku biasanya adalah jidaimono yaitu kisah sejarah sebelum zaman Edo. Kisah yang mengambil latar belakang zaman Nara atau zaman Heian disebut Ochomono  (kisah kekaisaran). 
F.   Obon ( Bon Odori )
Obon atau Bon merupakan perayaan ritual agama Budha yang dilakukan pada musim panas kisaran anggal 13-15 Agustus.  Asal mula terjadinya perayaan ini adalah ketika dulu terdapat biku yang bernama Mokuren. Ketika ia bertapa, ia melihat ibunya menderita kelaparan di neraka, lalu ia memohon pada Shakyamuni Budha agar ibunya terselamatkan. Shakyamuni pun memberikan syarat bahwa ia harus memberikan makanan kepada kawan-kawan sesama biksu yang sedang bertapa selama 90 hari. Ketika jatuh pada hari yang telah ditentukan, Shakyamuni pun menunaikan janjinya, dan ibu dari Mokuren beserta 7 generasi nenek moyangnya terselamatkan dari siksa neraka. Mokuren pun bahagia dan meluapkan kebahagiaannya dengan melakukan tarian yang kini tarian tersebut dinamakan Bon Odori dan termasuk dalam rangkaian acara Obon.
Ritual Obon ini biasanya diawali dengan membuat api kecil didepan rumah pada setiap rumah masing-masing keluarga, api ini bertujuan untuk menerangi jalan bagi arwah keluarga mereka yang akan kembali pulang, api kecil ini disebut dengan Mukaebi. Setelah arwah tersebut datang, maka keluarga akan memanggil biksu untuk membacakan sutra didepan persembahan yang disebut dengan tana, dan pembacaan sutra ketika Obon dinamakan dengan tanagyo. Lalu ketika tanggal 16 Agustus maka arwah akan kembali ke tempatnya dengan diiringi nyala api yang disebut Okuribi.
Dalam Obon ini terdapat masa puncak perayaan yaitu pada penutupan masa Obon. Puncak perayaan ini ditandai dengan adanya tarian Bon Odori ( melakukan tarian bersama ). Hampir semua orang Jepang merayakan ini, mereka melakukan tarian bersama dengan sukacita, dan tidak hanya dilakukan di kuil Budha saja, tapi juga dilakukan di tanah lapang.
Ketika perayaan Obon biasanya kantor, toko maupun perusahaan meliburkan karyawannya, karena pada saat itu ada adat untuk pulang ke kampung halaman masing-masing untuk menyambut roh atau arwah keluarga yang telah tiada. Karena terdapat kepercayaan bahwa ketika Obon, arwah tersebut akan pulang kembali ke rumahnya dan setelah Obon berakhir maka arwah tersebut akan kembali ke dunianya.
Jika disamakan dengan Indonesia, boleh jadi kebisaan pulang kampung ketika Obon sama halnya dengan kebiasaan pulang kampung ketika masa pra- hari raya Idul Fitri bagi umat islam. Biasanya orang di Indonesia akan berbondong-bondong pergi ke kampung halaman untuk merayakannya dengan keluarga.
G.  Ikebana
Ikebana atau juga dikenal dengan istilah Kado ( jalan kehidupan ). Ikebana adalah seni merangkai bunga atau memanfaatkan tanaman untuk dinikmati keindahannya, keindahan disini lebih menjunjung terhadap nilai seninya.
Ikebana dikenalkan sekitar abad ke-6 yaitu rangkaian bunga yang dipersembahkan untuk sesajian pada kuil Budha. Lalu ketika zaman Heian, seni merangkai bunga mulai disenangi oleh masyarakat Jepang dan kini berkembang hingga ke seluruh dunia.
Terdapat 3 macam aliran dalam Ikebana, yaitu :
a.       Jiyuka : rangkaian Ikebana yang bersifat bebas tergantung pada imajinasi dan kreativitas. Aliran ini mulai diperkenalkan pasca Perang Dunia II.
b.      Shoka   : rangkaian Ikebana yang tidak terlalu formal tapi masih terdapat unsur tradisionalnya.
c.       Rikka    : rangkaian Ikebana yang bersifat tradisional dan biasanya untuk upacara keagamaan. Gaya ini menampilkan keindahan landscape tanaman.

Sumber : wikipedia.org
         akemapa.com



Komentar